Pilkada Tidak Langsung Lewat DPRD: Sebuah Kemunduran Demokrasi?

Oleh: Immanuel O Manting, SE MM. Dewan Penasehat

METROHEADLINE.NET, Pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak baru saja digelar pada 27 November 2024. Pilkada ini meliputi pemilihan pasangan calon Gubernur di 37 provinsi, Bupati di 415 kabupaten, dan Walikota di 93 kota. Namun, meskipun sudah berlangsung, hasil dari Pilkada ini tidak terlepas dari masalah besar. Banyak daerah yang melaporkan adanya pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam pelaksanaan Pilkada, yang memicu munculnya sengketa hukum.

Berdasarkan data, total gugatan terhadap hasil Pilkada mencapai 310 daerah atau sekitar 56,9% dari 545 daerah yang menyelenggarakan Pilkada. Gugatan ini terdiri dari 21 provinsi, 240 kabupaten, dan 49 kota, yang semuanya harus diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada 11 Maret 2024. Angka ini menunjukkan adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan Pilkada, yang diduga sarat dengan pelanggaran.

Menghadapi masalah ini, beberapa politisi mulai menyarankan adanya evaluasi terhadap sistem Pilkada yang dilaksanakan langsung oleh rakyat. Salah satu suara yang mencuat datang dari Anggota DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung, mantan Ketua Komisi II. Ia berpendapat bahwa Pilkada langsung menghabiskan anggaran yang sangat besar, mencapai Rp 37,4 triliun, dan akan jauh lebih efisien jika dilakukan melalui DPRD. Hal ini didukung oleh Indrajaya, anggota Komisi II, yang juga mengusulkan agar Pilkada dikembalikan ke sistem pemilihan oleh DPRD.

Sejarah Pilkada di Indonesia: Dari DPRD ke Pemilihan Langsung

Sebelum era reformasi, pemilihan kepala daerah di Indonesia dilakukan melalui DPRD. Namun, pasca reformasi, sistem ini diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat, yang pertama kali dilaksanakan pada 2005. Sejak itu, Pilkada langsung menjadi bagian penting dari sistem demokrasi Indonesia. Pemilihan langsung dianggap sebagai upaya untuk memastikan bahwa kepala daerah yang terpilih benar-benar mencerminkan keinginan rakyat, bukan hasil rekayasa politik atau deal politik antar anggota DPRD.

Namun, dengan adanya berbagai masalah yang muncul dalam pelaksanaan Pilkada langsung, termasuk tudingan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif, beberapa pihak mulai meragukan efektivitas sistem ini. Bahkan, Presiden Prabowo Subianto juga menyarankan agar dilakukan evaluasi terhadap sistem Pilkada langsung, terutama terkait dengan biaya tinggi yang dibutuhkan. Dalam pidatonya pada perayaan ulang tahun ke-60 Partai Golkar, ia menyatakan bahwa Pilkada langsung memakan anggaran yang sangat besar dan perlu dipertimbangkan untuk dikembalikan ke sistem melalui DPRD.

Penolakan Terhadap Kembalinya Pilkada Lewat DPRD

Namun, ide untuk mengembalikan Pilkada melalui DPRD ini tidak diterima begitu saja. Anggota DPR dari PDIP, Dedi Sitorus, menolak keras wacana ini, demikian juga dengan pengamat politik Iwan Setiawan. Iwan, yang juga merupakan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), menilai bahwa Pilkada melalui DPRD merupakan langkah mundur bagi demokrasi Indonesia. Ia menegaskan bahwa hak partisipasi politik masyarakat harus dijaga, dan nilai demokrasi yang paling tinggi adalah ketika rakyat memiliki kebebasan untuk memilih langsung pemimpinnya.

Menurut Iwan, sistem Pilkada langsung lebih mencerminkan demokrasi yang sejati, di mana rakyat bisa secara langsung menentukan kepala daerah mereka tanpa ada campur tangan dari pihak-pihak politik tertentu. Hal ini senada dengan pendapat J Kaloh dalam bukunya Mencari Bentuk Otonomi Daerah, yang menyatakan bahwa Pilkada langsung lahir dari keinginan untuk memastikan kepala daerah yang terpilih benar-benar representatif bagi masyarakat, bukan hasil rekayasa politik anggota DPRD yang tidak selalu mencerminkan keinginan rakyat.

Perjalanan Sejarah Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia

Sejak Indonesia merdeka, sistem pemilihan kepala daerah telah mengalami beberapa perubahan besar. Pada awalnya, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Namun, setelah Orde Baru berakhir pada 1998, sistem pemerintahan daerah mengalami perubahan besar dengan diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut, konsep otonomi daerah diperkenalkan, yang kemudian diperkuat dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, yang mengatur Pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Pilkada langsung ini kemudian menjadi tonggak sejarah baru dalam sistem pemerintahan Indonesia, yang membawa peran aktif masyarakat dalam menentukan pemimpin daerah mereka. Namun, tidak semua pihak sepakat dengan pelaksanaan Pilkada langsung ini. Pada 2014, DPR sempat mengusulkan perubahan sistem Pilkada melalui voting yang berakhir dengan hasil mayoritas anggota yang menyetujui Pilkada lewat DPRD. Meskipun demikian, sistem ini ditolak oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang menganggapnya sebagai langkah mundur bagi demokrasi.

Kontroversi Pilkada Melalui DPRD: Evaluasi atau Kemunduran Demokrasi?

Pada tahun 2014, wacana perubahan sistem Pilkada kembali bergulir dengan dukungan beberapa pihak yang menginginkan Pilkada dilakukan melalui DPRD untuk menghemat anggaran. Presiden Prabowo Subianto, dalam pidatonya pada 12 Desember 2024, mengemukakan pentingnya evaluasi terhadap Pilkada langsung. Namun, hal ini mendapat reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk pengamat politik dan politisi, yang menyebut langkah tersebut sebagai kemunduran demokrasi.

Salah satu kritik datang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menyatakan bahwa Pilkada melalui DPRD adalah langkah mundur dalam demokrasi. SBY menegaskan bahwa Pilkada langsung telah memperkuat partisipasi politik masyarakat dan memberikan hak penuh kepada rakyat untuk memilih kepala daerah mereka. Sebagai respons, SBY bahkan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk membatalkan UU Pilkada yang mengatur Pilkada melalui DPRD pada 2014.

Solusi untuk Pilkada yang Lebih Efisien dan Demokratis

Seiring berjalannya waktu, wacana tentang Pilkada melalui DPRD masih menjadi bahan perdebatan di kalangan politisi dan tokoh masyarakat. Beberapa pihak mendesak agar DPR dan pemerintah melakukan evaluasi mendalam terhadap sistem Pilkada saat ini. Komisi II DPR RI diharapkan dapat mendengarkan berbagai pendapat dari semua pihak untuk mencari solusi yang paling tepat bagi masa depan Pilkada di Indonesia.

Dalam menghadapi polemik ini, sangat penting untuk memastikan bahwa apapun sistem Pilkada yang diterapkan, itu harus dapat menjaga hak demokrasi masyarakat dan menjamin pemilihan kepala daerah yang transparan dan bebas dari manipulasi politik. Pilkada langsung, meskipun memakan biaya yang tinggi, memberikan kesempatan kepada rakyat untuk menentukan pemimpin mereka secara langsung, dan ini harus tetap menjadi prioritas dalam menjaga kualitas demokrasi Indonesia.

Dengan demikian, keputusan tentang sistem Pilkada yang akan diterapkan di masa depan harus mempertimbangkan berbagai aspek, mulai dari efisiensi anggaran hingga hak partisipasi politik masyarakat, agar dapat menciptakan sistem yang lebih baik dan demokratis.